Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar kripto yang sempat semringah selama masa pandemi, karena dukungan kebijakan moneter lemah dan membludaknya peredaran uang murah, tahun ini mulai goyah. Harga koin dan aset kripto yang sempat meroket banyak yang telah terjun bebas. Pasar NFT yang sempat membuat heboh, kini mulai sepi dengan harga asetnya mendingin secara cepat. Dan yang paling parah adalah satu demi satu skandal yang menguak ke publik, mulai dari koin luna hingga yang terbaru kebangkrutan bursa FTX milik Sam Bankman-Fried.
Tahun ini kripto menjadi salah satu pecundang utama di pasar keuangan. Kripto yang semula digadang-gadang dapat menjadi alternatif aset lindung nilai, nyatanya pergerakannya tidak sama dengan emas. Kripto gagal menguat dan malah terpuruk kala inflasi meningkat pesat.
Pergerakannya lebih mirip dengan saham, dengan kinerja yang jauh lebih buruk dari pasar ekuitas. Kripto dipandang oleh banyak investor sebagai aset dengan risiko dan volatilitas sangat tinggi – lebih dari saham. Alhasil kinerja semakin terpuruk pasca pengetatan kebijakan moneter yang ramai-ramai diambil nyaris seluruh bank sentral utama dunia.
Sebagai kelas aset yang relatif baru, skandal yang terjadi di pasar kripto ikut meningkatkan keraguan investor untuk mengoleksi aset berisiko ini, setidaknya dalam kondisi ekonomi berat saat ini.
Tahun 2022 skandal kripto besar paling awal dimulai dari gagalnya stablecoin algoritmik TerraUSD atau UST mempertahan nilai tukar US$ 1 yang menyebabkan ambruknya koin luna serta menyapu bersih kekayaan hingga US$ 40 miliar.
Imbasnya investor mulai panik dengan valuasi pasar kripto lenyap US$ 2 triliun dari posisi puncak November 2021 lalu. Sepinya pasar kripto, dengan harga koinnya yang nyungsep lalu menjadi petaka bagi kripto lender. Perusahaan yang menyediakan layanan pinjaman kripto mendapati bisnisnya tidak berkelanjutan karena kondisi pasar suram dan akhirnya mengalami gagal bayar atas bunga pinjaman tinggi dari koin deposit investor kripto. Skandal ini kemudian menyebabkan kebangkrutan pada sejumlah nama besar termasuk 3 Arrow Capital, Voyager dan Celcius.
Dalam kondisi pasar yang tegang, Sam Bankman-Fried atau yang juga kerap disapa dengan nama panggilan SBF muncul sebagai juru selamat.
Pria berusia 30 tahun yang tinggal di Bahama itu siap menjadi pemimpin dalam mengkonsolidasikan industri, mencoba menyelamatkan satu per satu perusahaan yang terdampak dengan menyediakan kredit pinjaman atau melakukan merencanakan upaya bail out. Secara bersamaan dirinya juga mengklaim FTX berada dalam posisi yang lebih baik daripada rekan-rekannya karena memiliku simpanan uang tunai jumbo, biaya operasional rendah dan menghindari pinjaman.
Dengan kekayaan bersih yang di atas kertas sempat membengkak hingga US$ 26 miliar, dia secara pribadi juga membeli 7,6% saham di perusahaan aplikasi trading saham Robinhood.
Karena kelincahannya dalam mengkonsolidasi dan menyediakan pinjaman bagi industri, SBF bahkan samapai dijuluki oleh beberapa orang sebagai “JPMorgan of crypto.”
Lalu bagaimana bisa, pengusaha muda yang semula dibandingkan dengan raksasa keuangan seperti John Pierpont Morgan dan Warren Buffett ini membuat investor pasar kripto cemas, dan pada saat bersamaan kehilangan nyaris seluruh harta kekayaannya?
Sumber: www.cnbcindonesia.com